Orang yang jatuh cinta diam - diam tahu dengan detail semua informasi orang yang dia taksir, walaupun mereka belum pernah ketemu.
Orang yang jatuh cinta diam - diam memenuhi catatannya dengan perasaan hati yang tidak tersampaikan.
Orang yang jatuh cinta diam - diam selalu bertingkah seperti seorang penguntit.
Hampir semua orang yang jatuh cinta diam - diam pernah menelepon orang yang mereka taksir dan langsung menutup teleponnya kembali. Hal yang membedakan paling hanya jam mereka menelepon.
Orang yang jatuh cinta diam - diam harus bisa melanjutkan hidupnya dalam keheningan.
Pada akhirnya orang yang jatuh cinta diam - diam hanya bisa mendoakan. Mereka cuma bisa mendoakan, setelah capek berharap, pengharapan yang ada dari dulu, yang tumbuh dari mulai kecil sekali, hingga makin lama makin besar, lalu semakin lama semakin jauh.
Orang yang jatuh cinta diam - diam paham bahwa kenyataan terkadang berbeda dengan apa yang kita inginkan. Terkadang yang kita inginkan bisa jadi yang tidak sesungguhnya kita butuhkan. Dan sebenarnya, yang kita butuhkan hanyalah merelakan.
Orang yang jatuh cinta diam - diam hanya bisa, seperti yang mereka selalu lakukan, jatuh cinta sendirian.
Sayang sama orang atau "cinta" sama orang memang bisa membuat kita jadi melakukan tindakan - tindakan yang tidak terpuji.
'Apa yang salah dari orang yang terlalu dalam sayang sama orang lain?'
Luka sunat mungkin bisa satu bulan hilang, tetapi rasa sakit hati karena ditolak oleh cewek yang kita taksir, bisa jauh lebih lama. Karena luka hati, terutama ketika tidak dijahit, bisa jadi tidak akan pernah kering.
Cinta yang tak berbalas, adalah hal yang paling bisa bikin kita ngais tanah. Untuk tahu kalau cinta kita tak berbalas, rasanya seperti diberitahu bahwa kita tidak pantas untuk mendapatkan orang tersebut. Rasanya, seperti diingatkan bahwa kita, memang tidak sempurna, atau setidaknya tidak cukup sempurna untuk orang tersebut.
Jika cinta bisa membuat tahi jadi rasa coklat, cinta tak berbalas bisa membuat coklat jadi rasa tahi.
Paling tidak gue telah melakukan hal yang mungkin orang lain hanya bisa mimpikan: menjadikan kisah hidupnya ke dalam sebuah film.
'Karena paling tidak, bagi gue, sewaktu gue nonton film itu, gue nangis dan tertawa.'
*dan dia pun keluar ke atas panggung, bersinar seperti seharusnya*.
Gue juga menonton dengan bersinar. Rasanya, silau sekali.
Gue, sebagai penulis komedi, selalu terlihat bodoh dan melawak bagi orang lain. Tapi di depan dia, gue adalah orang yang serius.
Dan dia memberikan satu kecupan di pipi gue. Rasanya kayak mau mati. Di malam ini, gue gak pernah sedekat ini pada kematian.
Dan seandainya kangen itu digaji, mungkin gue sudah menjadi jutawan.
'Jadi, kita pacaran sekarang?', 'Yak, Kita pacaran.
Dan sesimpel itu, kita pacaran. Dan sesimpel itu, begitulah dua orang bisa jatuh cinta.
Dan dengan seperti itulah gue tahu, cinta mungkin buta, tapi kadang, untuk bisa melihatnya dengan lebih jelas, kita hanya butuh kacamata yang pas.
Kalau mimpi kita ketinggian, kadang kita perlu dibangunkan oleh orang lain.
Dalam hati, gue berharap hubungan gue dan pacar gue sekarang seperti hubungan binatang yang setia satu sama lain selama hidupnya.Pacaran pada dasarnya punya risiko: ngambek, marah, dan akhirnya diselingkuhi, dan patah hati. Tapi kita, sebagai manusia, tetep aja masih mau pacaran. Karena kita, seperti belalang, tahu bahwa untuk mencintai seseorang, butuh keberanian.
Gue merasa sepeti seekor marmut berwarna merah jambu yang terus-menerus jatuh cinta, loncat dari satu relationship ke yang lainnya, mencoba berlari dan berlari di dalam roda bernama cinta, seolah - olah maju, tapi tidak....karena sebenarnya jalan di tempat. Entah sudah berapa kali gue naksir orang sebelum bertemu pacar gue yang sekarang ini. Entah berapa kali patah hati, berantem, cemburu yang gue alami sebelum ketemu dia. Entah berapa kali nembak dan putus, seolah - olah gue berlari dan berlari dari satu hubungan gagal ke hubungan gagal lainnya, seperti marmut yang tidak tahu kapan harus berhenti berlari di roda yang berputar. Dan hubungan kali ini, setiap gue memandangi dia, pertanyaan besar itu pun timbul: apakah sekarang saatnya berhenti ?
Penulis : Raditya Dika
Penerbit :Bukune
Cetakan pertama, 222 hlm; 13 x 20 cm
ISBN : 602-8066-64-8
*uda baca berulang2, tapi gak pernah bosen, hehe :)
0 comments:
Post a Comment