pesan dari Aji Rahmat komunitas Petualang
Indonesia
sharing catatan bang Rafael Andrian Ricardo
October 31 at 6:02pm
Sedikit sekali orang yang bisa memahami keadaan
seseorang atau keadaan sekitarnya, jika ia tidak terjun langsung atau mengalami
apa yang dirasakan seseorang dalam kehidupannya.
Pencinta Alam atau biasa disebut PA, itulah yang
pertama kali orang katakan saat melihat sekelompok orang – orang ini. Dengan
ransel serat beban, topi rimba, baju lapangan, dan sepatu gunung yang dekil
bercampur lumpur, membuat mereka kelihatan gagah. Hanya sebagian saja yang menatap mereka dengan
mata berbinar menyiratkan kekaguman, sementara mayoritas lainnya lebih banyak
menyumbangkan cibiran, bingung, malah bukan mustahil kata sinis yang keluar
dari mulut mereka, sambil berkata dalam hatinya, “Ngapain cape – cape naik
Gunung. Nyampe ke puncak, turun lagi…mana di sana dingin lagi, hi…!!!!!!!”
Tapi tengoklah ketika mereka memberanikan diri
bersatu dengan alam dan dididik oleh alam. Mandiri, rasa percaya diri yang
penuh, kuat dan mantap mengalir dalam jiwa mereka. Adrenaline yang normal
seketika menjadi naik hanya untuk menjawab golongan mayoritas yang tak henti –
hentinya mencibir mereka. Dan begitu segalanya terjadi, tak ada lagi yang bisa
berkata bahwa mereka adalah pembual !!!!!
Peduli pada alam membuat siapapun akan lebih
peduli pada saudaranya, tetangganya, bahkan musuhnya sendiri. Menghargai dan
meyakini kebesaran Tuhan, menyayangi sesama dan percaya pada diri sendiri,
itulah kunci yang dimiliki oleh orang – orang yang kerap disebut petualang ini.
Mendaki gunung bukan berarti menaklukan
alam, tapi lebih utama adalah menaklukan diri sendiri dari keegoisan pribadi.
Mendaki gunung adalah kebersamaan,
persaudaraan, dan saling ketergantungan antar sesama.
Dan menjadi salah satu dari mereka bukanlah hal
yang mudah. Terlebih lagi pandangan masyarakat yang berpikiran negative
terhadap dampak dari kegiatan ini. Apalagi mereka sudah menyinggung soal
kematian yang memang tampaknya lebih dekat pada orang – orang yang terjun di
alam bebas ini. “Mati muda yang sia – sia.” Begitu komentar mereka saat
mendengar atau membaca anak muda yang tewas di gunung. Padahal soal hidup dan
mati, di gunung hanyalah satu dari sekian alternative dari suratan takdir.
Tidak di gunung pun, kalau mau mati ya
matilah…!!!
Kalau selamanya kita harus takut pada kematian,
mungkin kita tidak akan mengenal Columbus penemu Benua Amerika.
Di gunung, di ketinggian kaki berpijak, di
sanalah tempat yang paling damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan keyakinan
diri yang kuat. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa
berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian diri dari suatu pribadi
yang egois dan manja, menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan
diri sendiri. Rasa takut, cemas, gusar, gundah, dan homesick memang ada,
tapi itu dihadapkan pada kokohnya sebuah gunung yang tak mengenal apa itu rasa
yang menghinggapi seorang anak manusia. Gunung
itu memang curam, tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal, tapi ia ramah
dengan membiarkan tubuhnya diinjak – injak. Ada banyak luka di tangan,
ada kelelahan di kaki, ada rasa haus yang menggayut di kerongkongan, ada
tanjakan yang seperti tak ada habis – habisnya. Namun semuanya itu menjadi tak
sepadan dan tak ada artinya sama sekali saat kaki menginjak ketinggian. Puncak gunung menjadi puncak dari segala
puncak. Puncak rasa cemas, puncak kelelahan, dan puncak rasa haus, tapi
kemudian semua rasa itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan.
Lukisan kehidupan pagi Sang Maha Pencipta di
puncak gunung tidak bisa diucapkan oleh kata – kata. Semuanya cuma tertoreh
dalam jiwa, dalam hati. Usai menikmati sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri
sendiri sekaligus menumbuhkan percaya diri, rasanya sedikit mengangkat dagu
masih sah – sah saja. Hanya jangan terus – terusan mengangkat dagu, karena
walau bagaimanapun, gunung itu masih tetap kokoh di tempatnya.
Tetap menjadi paku bumi, bersahaja, dan gagah.
Sementara manusia akan kembali ke urat akar di mana dia hidup.
Ya, menghargai
hidup adalah salah satu hasil yang diperoleh dalam mendaki gunung.
Betapa hidup itu mahal. Betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai
pilihan, di mana kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi terdesak.
Satu kali mendaki, satu kali pula kita
menghargai hidup. Dua kali mendaki, dua kali kita mampu menghargai hidup. Tiga
kali, empat kali, ratusan bahkan ribuan kali kita mendaki, maka sejumlah itu
pula kita menghargai hidup.
Hanya seorang yang bergelut dengan alamlah yang
mengerti dan paham, bagaimana rasanya mengendalikan diri dalam ketertekanan
mental dan fisik, juga bagaimana alam berubah menjadi seorang bunda yang tidak
henti – hentinya memberikan rasa kasih sayangnya. Kalau golongan mayoritas
masih terus saja berpendapat minor soal kegiatan mereka, maka biarkan sajalah.
Karena siapapun orangnya yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya mengantarkan
nyawa saja, bahwa kegiatan ini hanya sia – sia belaka, tidak ada yang menaifkan
hal ini. Mereka cuma tak paham bahwa
ada satu cara di mana mereka tidak bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh
para petualang ini, yaitu kemenangan saat kaki tiba pada ketinggian.
gambar ini diambil dari blognya Revi Mayangsari |
selesai membaca tulisan ini, langsung teringat si Oka, teringat semangatnya waktu ngajak aku (lagi) ikut mapala semester ini. kemaren jawabanku, "males ah Oka, uda pernah naik gunung kok", tapi, setelah membaca pesan mas Aji di atas, aku baru sadar, aku baru sekali menghargai hidup, dan aku, ingin lebih belajar menghargai hidup lagi, Oka, begitu masuk kuliah ayo kita daftar Mapala.
8 comments:
iya mbak sama2...
hmm.. btw aku cowo lho.. bukan cewe..hehe
memang nama ku kaya cewe..
keep posting sis,,,
salam kenal..
salam Lestari.....
eh, sorry mas, kirain, hehe
salam kenal kembali,
makasih ya mas uda mengembalikan semangat ku untuk gabung di mapala kampusku, aku baru sekali memang naik gunung dan pengen kedua kali, naik gunung itu memang capek ya mas, tapi kata2 apa la yang dapat menggambarkan rasa syukur ketika kaki uda nyampek puncak, hehe
salam Lestari kembali deh kalo gitu, :)
Saya kenal dgn Om Aji Rachmat. Dia baik banget! Sering bgt bikin acara2 seru tentang petualangan dan outdoor. Sangat bersahabat! Heheheh :)
hehe, salam kenal sebelumnya ya mbak, iya, kemaren gak sengaja nemuin catatan itu, btw, uda pernah naik gunung juga mbak ?
oya, tadi aku juga sempet lama mampir di blog mbak lo, ijin nyimpen halaman tentang 'labil place' sama 'cues to stop' ya mbak, untuk di baca2 ulang, ngenak tulisannya, hehe, :)
alhamdulillah sudah pernah, hehehe.. tapi udah lama banget terakhirnya..
siip silahkan, dengan senang hati.. makasih yaa :)
sama2 mbak, :)
kalo boleh tahu gunung apa mbak ? Rinjani ? hehe
iya.. memang lelah.. dan penuh resiko..
jadi ambil hikmah yang ada dari tapak setapak kaki yang melangkah.. :)
klu ke Jawa Tengah u/ hiking ato yg lain, mampir aja MPA Pascal, dah ada juga fb dan grub.
ok mas, insyaallah tahun baru saya berangkat ke Jogja dan niatnya ingin naik ke Merbabu, semoga bertemu ya mas, amin. :)
Post a Comment