Cara terbaik berpisah mungkin hanya dengan merelakan. Tapi kita tahu
itu bukan perkara sederhana, bukan perkara pamit dan merayakan
kepergian. Perpisahan lebih dari itu. Perpisahan lebih rumit dari itu.
Kamu tidak pernah sadar itu sampai suatu hari kamu ditinggalkan dan
dilupakan.
Perpisahan mengajarkan kehilangan. Ia adalah wajah
paling waras dari hidup. Tidak ada yang benar-benar abadi, tidak juga
pertemuan, cinta atau bahkan kebersamaan. Kamu akan kehilangan atau
dipaksa dihilangkan.
Kita pernah saling mencintai, pernah saling
memiliki, pernah berusaha untuk jadi orang yang ada untuk satu sama
lain. Tapi kemudian kenyataan memberikan kita tembok besar. Ia
memisahkan kita, menyadarkan bahwa apa yang kita miliki fana belaka. Ia
tidak pernah ada, ia sebenarnya rapuh dan hubungan yang kita miliki
hanyalah dusta yang diabadikan.
Kita kemudian saling menyakiti,
kita kemudian saling berusaha menghindari satu sama lain. Kita
menciptakan jarak. Kita menciptakaan keadaan untuk saling membenci.
Barangkali cinta serapuh itu, barangkali harapan sepedih ini, barangkali
perjumpaan kita hanyalah kutukan yang semestinya tidak terjadi.
Kita
dipertemukan entah untuk kebersamaan atau untuk merelakan. Tapi
benarkah kita bisa bersama? Benarkah kita bisa merelakan? Aku bisa saja
minta maaf, aku bisa saja berusa mengembalikan kenangan yang pernah ada.
Tapi apakah itu penting? Kita tidak bisa benar benar memperbaiki hati
yang tersakiti. Tak ada yang bisa, juga aku.
Barangkali cinta itu
seperti ini sayangku, kita berjumpa, memupuk harapan, bersama, memupuk
lebih banyak harapan, berusaha bersama, memupuk lebih banyak lagi
harapan, untuk kemudian dibuat kecewa oleh harapan harapan itu. Kita,
tidak, maksudnya aku tak pernah benar benar bisa mewujudkan harapan.
Barangkali itu alasan kemudian mengapa kamu pergi.
Aku masih
berusaha untuk merelakanmu. Aku masih berusaha untuk setia berharap
padamu. Aku masih berpikir, haruskah aku memperjuangkanmu atau aku harus
merelakanmu. Apa yang kita pernah alami adalah sesuatu yang nisbi,
sesuatu yang rapuh, sesuatu yang barangkali bisa saja hilang karena
kebencian atau kekecewaan.
Kepedihan adalah hal yang paling pasti
terjadi dari perpisahan yang dipaksakan. Barangkali ia adalah wujud lain
harapan yang hancur. Tapi apakah itu penting? Apakah itu berarti?
Apakah itu bisa mengubah keadaan? Tidak. Hal yang bisa dilakukan adalah
menerima rasa pedih itu dengan kepala tegak. Setidaknya aku tidak akan
membuatmu khawatir pergi meninggalkanku. Aku akan terlihat baik baik
saja, cukup kuat untuk tidak membuatmu terpaksa kembali.
Karena
apa yang lebih muram dari keterpaksaan? Terpaksa mencintai, terpaksa
menerima dan terpaksa bertahan. Tidak, aku tidak akan membuatmu
terpaksa. Kamu perempuan paling hebat dalam hidupku, berhak mengejar
kebahagiaanmu sendiri. Kamu bukan milikku, kamu tidak pernah jadi
milikku, kamu tak pernah jadi milik siapapun. Kehidupanmu adalah milikmu
sendiri.
Jika kamu tidak ingin bertemu denganku, baiklah. Maka
kelak jika kita bertemu di jalan, aku akan bersembunyi. Jika kau yang
sial mesti menjumpaiku, maka berpura-puralah aku tidak ada. Aku tidak
akan marah. Aku tidak akan kecewa. Aku tidak ingin membuat perempuan
yang aku cintai disusahkan akan keberadaanku. Barangkali ini hal paling
sederhana yang bisa aku lakukan. Bersepakat mengamini perpisahan
diam-diam.
Karena perpisahan mengajarkan pilu, maka, izinkan aku
merelakanmu. Barangkali kamu ingin pergi mengangkat sauh ke tanah yang
jauh. Melupakan keberadaanku, melupakan apa yang pernah kita miliki.
Barangkali kamu ingin pergi dari sini, dari tempat yang menyimpan
kesakitan masa lalumu. Aku tidak akan memaksamu untuk tinggal, seperti
juga kamu tidak bisa memaksaku untuk berhenti berharap.
-Arman Dhani-
0 comments:
Post a Comment