Bukti Lembur


Berhubung aku lembur dikarenakan ngerjain ekonomi, disini aku share inti dari makalahku, yang ku kutip dari www.agrina-online.com.


Tinggal selangkah lagi Kabupaten Karo menjadi kawasan hortikultura yang lengkap dengan sarana penunjangnya yang memadai.

Kabupaten Karo di Sumatera Utara, terbentang pada ketinggian 600—1.400 m di atas permukaan laut. Kawasan berhawa sejuk dengan suhu berkisar 14o—26oC dan kelembapan rata-rata 89% itu dijuluki Tanah Karo Simalem, artinya Tanah Karo yang dingin.

Dengan topografi itu, dataran tinggi Karo sangat potensial sebagai daerah penghasil komoditas hortikultura. Wajar bila geliat agribisnis hortikultura, khususnya buah dan sayuran, menjadi pemandangan sehari-hari. Tak mengherankan pula jika kabupaten berpenduduk lebih dari 342 ribu jiwa ini masih mengandalkan sektor pertanian sebagai kegiatan ekonomi. Buktinya, sekitar 75% lapangan usaha masyarakat di sana bekerja di sektor pertanian. Dan, sekitar 60% produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita berasal dari pertanian.

Letak Karo sangat menguntungkan bagi pendistribusian produk pertanian karena berada pada jalur lintas dari beberapa kabupaten/kota di Sumut. Secara administratif, Karo berbatasan dengan empat kabupaten. Sebelah Utara dengan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang, sebelah Timur dengan Kabupaten Simalungun dan Deli Serdang, sebelah Selatan dengan Kabupaten Dairi dan Toba Samosir, dan sebelah Barat dengan Kabupaten Aceh Tenggara.

Dengan ibukotanya Kabanjahe, yang terletak sekitar 78 km dari kota Medan, Tanah Karo meliputi 17 kecamatan. Beberapa wilayah yang menjadi sentra sayuran adalah Berastagi, Simpang Empat, Tigapanah, Merek, Barusjahe, Kabanjahe, Payung, dan Tigabinanga.

Secara spesifik, Kecamatan Berastagi dan Kabanjahe menjadi pusat penghasil sayuran, buah, dan bunga. Geliat perekonomian lebih terasa di dua kecamatan ini. Sarana pendukung perdagangan termasuk ekspor sayuran banyak terdapat di sana, seperti pasar induk, pasar bibit tanaman, dan pergudangan.

Sebagian Diekspor

Jenis sayuran yang banyak diusahakan masyarakat Karo adalah kubis, tomat, kentang, bawang prei (sejenis bawang daun), wortel, cabai merah, lobak, bunga kol, dan petsai. Sementara buah-buahan adalah jeruk keprok, markisa, dan terung belanda. Produksi jeruk keprok pada 2006 mencapai 971.336 ton, yang diperoleh dari luas panen 17.892 ha.

Menurut catatan Dinas Pertanian Prov. Sumut, pada 2006, produksi kubis dari Karo sebanyak 89.236 ton. Sedangkan tomat, kentang, petsai, dan bunga kol masing-masing 64.0345 ton, 42.201 ton, 41.667 ton, serta 36.842 ton. Total luas panen sayuran pada kurun waktu tersebut adalah 21.420 ha dengan produksi 403.372 ton.

Sebagian sayuran unggulan, seperti kubis dan kentang, kemudian diekspor ke luar negeri seperti Malaysia dan Singapura. “Sayuran untuk ekspor yang sampai saat ini masih bertahan dan beroperasi teratur adalah kubis dan kentang,” ungkap Ir. Bintara Tahir, Kepala Dinas Pertanian Prov. Sumut.

Perdagangan sayuran dari Karo, masih didominasi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selain diserap masyarakat setempat, sayuran tersebut dipasarkan ke Medan, Batam, Pekanbaru (Riau), Aceh, dan sebagian ke Jawa. Distribusi sayuran dari petani, setiap hari dapat disaksikan di Pajak (pasar) Sayuran dan Buah Berastagi dan Pajak Tiga Rengit.

Sejahtera

Contoh petani sayuran di Berastagi yang terbilang kawakan adalah Karya Bakti Surbakti. Di atas lahan seluas 4 ha di Kampung Peceren, Sempa Jaya, pria kelahiran 1970 itu mengusahakan tomat, kubis, cabai keriting, dan buncis. “Saya mulai bertani sayuran sejak 1995. Di atas lahan sewa sekitar 400—600 m2, saya mengusahakan tomat dengan modal Rp3 jutaan,” aku ayah empat anak itu.

Usaha Surbakti berkembang sehingga ia mampu membeli sehektar kebun. Sejak itu, komoditas yang ia usahakan ditambah dengan kubis, cabai, dan buncis. Pada 2003, ia mampu memperluas kebunnya menjadi dua hektar. Tak puas sampai di situ, Surbakti pun menambah areal kebunnya dengan menyewa seluas dua hektar.

Tomat menjadi unggulan Surbakti. Dengan menanam varietas Warani keluaran Cap Panah Merah, setiap panen ia menghasilkan 60—80 ton/ha. Dalam setahun, minimal Surbakti menanam tomat dua kali. Biaya produksi yang ia keluarkan sekitar Rp70 juta—Rp90 juta/ha/sekali tanam.

Saat AGRINA berkunjung ke sana, minggu pertama Februari, Surbakti bisa menjual tomat rata-rata Rp2.000/kg. Berarti, setiap hektar ia bisa mengantongi hasil penjualan Rp120 juta—Rp160 juta/sekali tanam. Ia mengakui, harga sayuran, termasuk tomat, fluktuatif. Tapi yang ia rasakan selama ini, dalam setahun hanya 1—2 bulan saja harga tomat di bawah Rp2.000/kg. Selebihnya, di atas Rp2.000/kg.

Petani lain adalah Ngongkos Sitepu. Di atas lahan seluas dua hektar, di Desa Ujung Teran, Kec. Simpang Empat, ia mengusahakan kubis, kentang, tomat, dan cabai. Menurut pria yang sudah bertani sejak 1986 itu, jenis sayuran tersebut dipilih lantaran lebih menguntungkan.

Dari usaha tani sayuran, baik Sitepu maupun Surbakti sudah bisa hidup sejahtera. Surbakti mampu membangun rumah permanen dan membeli mobil. Kebunnya pun bertambah dua hektar yang ia tanami dengan jeruk keprok.

Peran Pemerintah dan Swasta

Produksi sayuran yang berlimpah di Berastagi setidaknya menarik datangnya para investor. Sebut saja PT Putra Agro Sejati, sebuah industri pengolahan beragam sayuran. Produk dari perusahaan skala besar ini antara lain gobo kering, ubi goreng, lobak rebus dan kering, wortel kering, kentang goreng, kubis kering, bawang prei kering, sambal cabai, serta tepung wortel. Seluruh produksinya diekspor ke Jepang.

Investor lainnya adalah PT Bibit Baru. Perusahaan yang didirikan pada 1970-an itu fokus kepada budidaya dengan sistem modern. Komoditas yang diusahakan, yaitu bunga, tomat, dan paprika. Produksi dari perusahaan yang bermitra dengan Belanda itu diekspor ke Singapura.

Menyoal kebijakan investasi, Bupati Karo Daulat Daniel Sinulingga, menjamin peluang usaha dibuka selebar-lebarnya bagi para investor. Hanya saja usaha yang dibangun harus memberi nilai tambah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Untuk mendukung para investor, Pemda Karo siap menjadi anak beru sienterem (pelayan). Makna kultural istilah ini merupakan analog dari konsep customer service orientation, yang menjadi salah satu strategi manajemen perusahaan untuk menghadapi persaingan dan globalisasi.

Keseriusan pemda kepada agribisnis memang sudah tampak. Ditambah lagi tradisi penduduknya di bidang pertanian sudah mengakar kuat. Oleh sebab itu, sebenarnya, tinggal selangkah lagi Karo menjadi kawasan hortikultura yang lengkap dengan sarana penunjang yang memadai. Seperti terminal barang yang dilengkapi coldstorage untuk meningkatkan kualitas produksi. Agroindusti pun perlu ditambah untuk meningkatkan nilai tambah para petani.

Dadang, Yan, Krus

bagi orang Medan uda gak heran la ya melihat hasil pertanian di Kabupaten Karo ini, seperti yang kita ketahui aja, sepanjang jalan kalau mau menuju Lau Kawar, beserak kali kol (kubis) disitu, kalau mau ke Kabanjahe jugak sepanjang jalan hamparan kebun jeruk Berastagi semua, ah, betah la tinggal di karo, sekali kesana, pasti ketagihan.

0 comments:

Post a Comment

Footer

Lorem Ipsum

Welcome

Ketika tak bisa lagi bersuara, tak sanggup berperang mulut, lewat tulisan ku sampaikan semuanya.
Powered by Blogger.